Minggu, 14 Desember 2014

PUTUSIBAU, KEINDAHAN ALAM

PUTUSSIBAU, keindahan sudut kota.

Sebagai pelengkap perjalanan ke kota Putussibau yang merupakan  kali pertama penulis mengunjungi kota tersebut, tak lupa bertanya apa yang dapat kami lihat bila berkunjung, dari beberapa orang yang pernah berkunjung kesana menyatakan tempat yang untuk melihat pemandangan ada di Danau Sentarum, yaitu danau yang menyimpan banyak habitat sumberdaya air khususnya ikan arwana.

Awalnya penulis sedikit kecewa karena jarak dari kota Putussibau ke danau sentarum cukup jauh dan juga perlu adanya pendamping dari orang yang mengenal daerah tersebut, sedangkan penulis Widya Sananda dan R. Hariyadi keduanya belum sekalipun menginjakan kaki di Kabupaten Kapuas Hulu apalagi ke Danau Sentarum yang namanya sering di dengar termasuk saat menulis artikel tentang Akil Muchtar Ketua Mahkamah Konstitusi yang terkena kasus di KPK.

Saat akan mendarat di bandara Pangsuma Putussibau, penulis telah disuguhkan pemandangan yang indah kota Putussibau yang tampak dari jendela pesawat udara yang penulis tumpangi, pemadangan kota kecil dengan deretan rumah yang dikelilinggi oleh hamparan sawah menandakan adanya kehidupan yang asri dengan suasana khas alam kabupaten ter”ujung” dari provinsi Kalimantan Barat dengan suasana alam yang natural dari masyarakat di kota Putussibau.

Setelah melakukan kunjungan kerja sebagai tugas pokok perjalan kali ini, penulis mencoba melakukan “investigasi” yaitu berjalan menyusuri jalan Kom. Yos Sudarso jalan utama kota Putussibau, sesaat kemudian terdengar adzan untuk sholat ashar di Masjid agung Darunnajah, disinilah kami bisa berjumpa dengan Bapak Bapak Muhammad Sukri yang juga sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kapuas Hulu, beliau telah menjelaskan sebagian kondisi kota Putussibau untuk dapat kami lihat dan nikmati.

Dari masjid inilah, kiranya Allah Yang Maha Pencipta memberikan jalan kepada penulis untuk dapat melihat secara utuh kehidupan kota Putussibau, setelah sholat ashar penulis sempat berbincang dengan pengurus masjid yang mengetahui benar kondisi di kota Putussibau, berkat jasa beliaulah kami dapat dipertemukan dengan salah satu kerabat penulis yaitu Bapak M. MAULUDDIN yang kebetulan merupakan staf Pemda Kabupaten Kapuas Hulu, dengan dengan melalui perkenalan dan penyambung silaturahhim inilah penulis mengetahui lebih banyak kondisi kota Putussibau dan juga Kabupaten Kapuas Hulu.

Taman Kota Putussibau.
Merupakan tempat yang menarik penulis untuk mengabadikannya, letaknya persis dipinggir Sungai Kapuas, di depan rumah dinas Bupati Kapuas Hulu dengan pemandangan berlatar belakang jembatan Kapuas Hulu yang menghubungkan kota Putussibau dengan kota disekitarnya.


Pesona alam yang dapat dilihat penulis disaat itu matahari barat mulai condong tampak lembayung senja yang indah diantara jembatan Kapuas Hulu, penulispun mengabadikan moment keindahan sudut kota Putussibau matahari tenggelam dengan sinar peraknya menambah keindahan aliran Sungai Kapuas.
Kondisi Taman yang cukup bersih dan menyenangkan sebagai salah satu tempat rekreasi masyarakat kota Putussibau, di sore itu tampak adanya warung tempat bersantai dengan beberapa jenis makanan dan minuman terutama Kerupuk Basah makanan khas Kapuas Hulu tentunya.

Dipinggir sungai terlihat beberapa speedboat yang dapat disewa untuk melihat keindahan sungai Kapuas, namun terdapat pula beberapa perahu nelayan dari luar kota Putussibau yang terbanyak adalah nelayan dari daerah Jorong, mereka hidup dan tinggal diatas perahu sekaligus tempat mereka mengumpulkan ikan yang akan dijual didaerah Putussibau, dengan jenis ikan yang banyak penulis lihat adalah ikan Toman sebagai bahan baku “Kerupuk Basah” yang terkenal.


Dekat Taman Kota Putussibau terdapat pasar tradisional yang cukup ramai dipagi hari dan kalau sore hari banyak yang tutup, sehingga jalan M. Dahar dimana pasar berada terasa lenggang, namun sore itu disekitarnya sudah mulai tampak buah durian yang dijual, salah satu buah yang tumbuh di Kapuas Hulu yang rasanyapun tidak kalah dengan durian yang dijual di kota Pontianak.

Taman Makam Pulau Silangi atau Pulau Sibau.
Merupakan pulau kecil yang dialiri oleh sungai sibau sehingga letaknya terputus dengan kota Putussibau, di area pulau yang tidak berpenduduk hanyalah berisikan makam masyarakat kota Putussibau, yang masyarakat menyebutnya sebagai Taman Makam Pulau Sibau atau Pulau Selangi.

Berdasarkan cerita masyarakat, konon menuju area makam tersebut dahulunya bisa dilewati dengan berjalan kaki karena air Sungai Sibau masih dangkal, namun sekarang akibat dari abrasi sungai mengakibatkan pulau itu semakin melebar walau jaraknya sepintasan dilihat oleh mata, namun untuk mengunjunginya harus menaiki perahu kecil atau sampan, disebabkan kedalaman airnya tidak bisa di lewati perahu besar, inilah petualangan penulis menaiki sampan kecil di Kalimantan.

Penulis mengunjungi taman makam di pulau kecil tersebut dengan diantar oleh Bapak Mauluddin, yang sekaligus mengunjungi makam kakek beliau yang juga kakek penulis dari garis ibu yaitu makam almarhum M. Dahar, yang dikenal dengan panggilan Datok atau Guru Satu, dikarenakan merupakan guru yang dihormati pada saat almarhum menjadi Guru dan selalu mengajar di kelas satu Sekolah Rakyat dimasa hidup almarhum, dan konon sekolah beliau tersebut merupakan cikal bakal berdirinya SDN I Putussibau.

Untuk mengenang jasa almarhum M. Dahar maka oleh Pemda Kota Putussibau nama beliau diabadikan sebagai nama jalan di samping pasar dan jalan menuju arah sungai tempat penulis akan menyeberangi Sungai Sibau ke tempat pemakaman, dikarenakan rumah almarhum awalnya memang berada di jalan M. Dahar tersebut.
Taman makam ini merupakan tempat pemakaman lama, yang terdiri dari pemakaman etnis Dayak, etnis Tionghoa dan masyarakat Muslim, dengan pembatas tembok yang membagi areal ke-3 dari masing-masing pemeluk keyakinan, areal ini selalu ramai pada saat hari raya kepercayaan masing-masing etnis tersebut, karena sanak kerabat akan datang dan membersihkan areal makam sebagai penghormatan kepada leluhur, itulah salah satu bentuk toleransi beragama di kota Putussibau yang telah dilakukan pada puluhan tahun yang lalu.

Tugu Batas dan Hamparan sawah.
Perjalanan melihat sudut kotapun semakin jauh, menyusuri jalan kearah Sintang telah mempertemukan kami berdua dengan Tugu Batas Kota Putussibau, letaknya memang lumayan jauh dari kota dan disepanjang jalan yang dilalui masih terbentang tanah kosong walau sebagian sudah tampak mulai melakukan pembangunan atau perkebunan diantara tanah yang bergambut, kemungkinan besar daerah ini nantinya akan tumbuh untuk dapat meningkatkan roda perekonomian di wilayah sekitar kota Putussibau.


Sekembalinya dari Tugu Batas kota, kami berkesempatan menikmati alam asri kota Putussibau yang letaknya sekitar belakang arah runway pesawat di Bandara Pangsuma, disini penulis disuguhkan hijaunya persawahan dengan jembatan gantung yang cukup menegangkan, karena saat berjalan terasa goyang dan getarnya disertai bunyi kayu yang terinjak roda kendaraan motor, terlebih lagi bila saat berpapasan ditengah jembatan yang lumayan panjangnya, inilah keramahan panorama alam kota Putussibau yang diperoleh penulis dan indahnya sudut kota Putussibau memberikan kesan tersendiri....







Wied-Sand-Des2014

Rabu, 10 Desember 2014

MASJID AGUNG DARUNNAJAH PUTUSSIBAU.

MASJID AGUNG DARUNNAJAH PUTUSSIBAU.

Perjalanan ke Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu tidaklah disiakan penulis untuk melihat keindahan bangunan Masjid yang berada di kota Putussibau.
Keberadaan masyarakat muslim yang berdampingan dengan masyarakat dayak dan non muslim di kota Putussibau berjalan sesuai harmonisasi alam yang saling menghormati dalam kehidupan keseharian.

Sejarah panjang keberadaan masyarakat muslim sebagaimana yang penulis dapatkan dari beberapa sumber dan artikel bebas, adalah dimulai dari keberadaan beberapa etnis Dayak yang merupakan penduduk asli Pulau Kalimantan, etnis Dayak Kantu’ dan Dayak Taman yang banyak mendiami kota Putussibau, pada awalnya mereka merupakan imigran antar wilayah di Kalimantan Barat.
Suku Dayak Kantu’ yang berasal dari wilayah Kabupaten Sanggau banyak mendiami selatan dari Kota Putussibau, sedangkan suku Dayak Taman menetap di daerah hilir Teluk Barat dan Suku Dayak Kayan menetap didaerah sekitar Kedamin, dari perjalanan waktu Suku Dayak Taman dan Suku Dayak Tayan inilah yang banyak memeluk Agama Islam, sejak saat itulah mulai banyak didirikan tempat ibadah muslim seperti surau dan masjid.

Perkembangan kehidupan masyarakat kota Putussibau yang mulai membangun Masjid dapat dilihat dari berdirinya beberapa masjid yang sekarang sebagian masih membunyai bentuk bangunan asal, namun sebagian sudah mengalami beberapa renovasi seperti yang penulis lihat.

MASJID AGUNG DARUNNAJAH PUTUSSIBAU.

Merupakan masjid yang terletak tepat dipusat kota Putussibau, maka sudah selayaknya menjadi kebanggaan dari masyarakat muslim didaerah tersebut, Masjid yang cukup megah kala itu dengan bangunan yang terdiri dari tempat ibadah disertai pintu gerbang menghadap jalam Kom. Yos Sudarso yang disertai ornamen gapura berciri khas bangunan Melayu didirikan pada awal periode Bapak H. M. Djapari sebagai Bupati Kapuas Hulu (1985-1995), beliau adalah seorang putra Nanga Pinoh yang wafat pada tanggal 10 November 2014 yang lalu. Semoga Allah Yang Maha Rahman melipatgandakan amal beliau, Amiin...

Perkembangan dan pertambahan jumlah penduduk kota Putussibau berdampak pula dengan semakin banyaknya masyarakat muslim yang melaksanakan ibadah shalatnya, terlebih lagi saat melaksanakan ibadah shalat Jum’at. Masjid yang semula hanya menampung sekitar 500 orang sudah tidak lagi dapat menampung jamaah yang semakin meningkat jumlahnya, maka Pengurus Masjid yang diketuai oleh Bapak H. Abang M. Natsir yang juga merupakan Bupati Kapuas Hulu telah mencanangkan renovasi sekaligus perluasan areal Masjid.

“Masjid saat ini akan diperluas tempat melakukan ibadah sholat dan InsyaAllah setelah selesai akan dapat menampung sekitar 5000 jamaah terutama pada saat shalat Jum’at” demikian dikatakan Bapak Muhammad Sukri yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Kapuas Hulu disaat memberikan penjelasan kepada penulis sekaligus menunjukan perluasan masjid yang sedang dikerjakan oleh kontraktor, baik itu penambahan selter maupun bangunan inti yang akan diperluas lagi, demikian disampaikan beliau.

Sore itu memang sengaja penulis berkunjung dan shalat Ashar ke Masjid Agung Darunnajah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Hotel sanjaya tempat penulis menginap, namun tidak disangka saat penulis mencoba mengambil beberapa gambar terkait bangunan Masjid yang sedang direnovasi dan diperluas bertemu dengan Bapak Muhammad Sukri Sekda Kabupaten Kapuas Hulu.


Pertemuan secara tidak terduga ini digunakan penulis untuk berbincang sejenak kepada beliau terkait kondisi kota Putussibau dan juga tentunya bertanya program pembangunan Masjid megah yang sedang dalam tahap perluasan dan salah satu yang menjadi kebanggaan masyarakat kota Putussibau.

Penulis secara terus terang mengatakan penghargaan kepada Bapak Muhammad Sukri saat beliau menjelaskan mengenai pembangunan Masjid Agung Darunnajah saat itu, karena bagi penulis baru menemukan seorang Pejabat Pemda setingkat Sekda mau berbincang bahkan menjelaskan secara rinci terkait suatu pembangunan tempat ibadah, sedangkan beliau tidak mengenal siapa yang diajak berbincang. Itulah keramahan lain yang diperoleh penulis saat berkunjung ke Kota Putussibau.

Setelah berbincang dan beliau menjelaskan secara rinci kondisi pembangunan Masjid Darunnajah, maka disela perbincangan penulis mengenalkan diri sekaligus melaporkan secara singkat terkait perjalanan singkat penulis bersama rekan ( Widya Sananda dan R. Hariyadi ) ke Kabupaten Kapuas Hulu. Saat berpisah penulis hanya dapat mengucap syukur kehadirat Illahi Rabbii atas dipertemukannya dengan Bapak Sekda Kabupaten Kapuas Hulu yang sederhana dan sangat ramah, “Terimakasih Bapak Sekda atas pertemuan ini... Assalamu ‘Alaikum WarahmatUllahi wa Barakatuh.” dikatakan penulis saat akan berpisah dengan menjabat tangan beliau.

Malam harinya saat melaksanakan shalat Isya, penulis merasakan keagungan dan kemegahan Masjid Agung Darunnajah, cahaya lampu yang memantul pada dinding marmer pada bangunan Masjid laksana kerlipan bintang dilangit, terlebih lagi mendengarkan imam shalat Isya melantunkan suratul Fathihah dengan jelas dan sesuai sanadnya, kemerduan lantunan ayat Al-Qur’an tersebut membuat keharuan tersendiri bagi penulis, karena bagi penulis apabila shalat berjamaah maka kewajiban Imam untuk melantunkan suratul fathihah dengan jelas, baik dan benar, sehingga makna dari surat tersebut menjadi jelas maka insyaAllah shalat yang dilakukan dan jamaah seluruhnya akan memperoleh ridho dan maghfirah dari Allah Azza wa Jalla.

Setelah shalat isya, penulis berkesempatan berbincang sejenak dengan Imam shalat isya kala itu seorang ustadz muda bernama H. Mawar Susardi dan pengurus Masjid Ustadz Ruju Setiawan, keduanya menjelaskan juga terkait pembangunan Masjid Agung Darunnajah yang berukuran dalam 50 x 50 meter2, mulai saat didirikannya masjid lama sampai berjalannya pembangunan sekarang ini, dimana perluasan lahan masjid telah menggusurkan satu bangunan sekolah SPG yang dipindahkan agar area Masjid menjadi luas dan terbebas dari bangunan lainnya.

Masjid Agung Darunnajah merupakan masjid utama di Kota Putussibau, keberadaan masjid digunakan pula untuk berbagai kegiatan ibadah, terutama pada bulan suci Ramadhan selain digunakan untuk kegiatan ibadah tetap seperti shalat tarawih yang jamaahnya selalu membludak bahkan sampai keluar areal masjid, maka tidaklah heran bila Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas Hulu berniat meningkatkan kapasitas jamaah yang dapat ditampung dalam areal masjid sehingga perluasan masjid perlu segera diselesaikan.

Kegiatan masjid nantinya juga akan diisi berbagai pelatihan ibadah bagi masyarakat sekitar kota Putussibau, adanya pelaksanaan pesantren kilat bagi siswa sekolah dibulan suci Ramadhan, dan juga direncanakan adanya Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA) yang akan dibangun setelah selesainya bangunan utama masjid, sehingga masyarakat dapat menimba ilmu agama secara baik dan teratur dikarenakan mempunyai tempat yang memadai, demikian disampaikan pengurus masjid kepada penulis. Inilah cermin keramahan dari masyarakat Putussibau.

”Barangsiapa yang membangun sebuah masjid karena Allah walau sekecil apa pun, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga” (HR. al-Bukhari dan Muslim).





Wied-Sand-Des2014


*dikutip sebagian dari berbagai sumber.

Selasa, 09 Desember 2014

PUTUSSIBAU, Suatu Catatan Perjalanan

Putussibau,  Kapuas Hulu


Pagi ini Rabu 3 Desember 2014, selama beberapa hari ini kota Pontianak yang diguyur hujan membuat hawa pagi terasa cukup dingin, setelah sholat shubuh di Masjid Al-Jama’ah yang terletak diantara jalan Surya dan jalan Sumatera Pontianak, penulis segera kembali ke “Asrama Surya Ungu” untuk berbenah diri bersiap memulai suatu perjalanan yang telah lama diharapkan, maklum setelah “bermukim” selama hampir 4 tahun di Pontianak Kalimantan Barat, baru kali ini berkesempatan untuk mengunjungi kota Putussibau yang merupakan ibukota Kabupaten Kapuas Hulu Propinsi Kalimantan Barat, AlhamdulIllah...

Perjalanan yang akan dilakukan penulis Widya Sananda bersama dengan R. Haryadi adalah dalam rangka perjalanan dinas untuk melakukan penggalian potensi lelang sesuai bidang tugas yang penulis “lakoni” selama hampir 4 tahun di Kantor Wilayah DJKN Kalimantan Barat, perjalanan ke kota Putussibau akan kami jalani dengan menggunakan pesawat udara yang tersedia trip pada pagi hari.

Perjalanan menuju kota Putussibau Kabupaten Kapuas Hulu dapat dilalui dengan jalan darat, sungai dan udara. Namun bila menempuh menggunakan kendaran mobil atau bus akan ditempuh sekitar 16 jam dengan catatan kondisi jalan yang cukup baik, namun bila kondisi hujan atau jalan rusak perjalanan bisa menjadi lebih lama lagi, karena jarak tempuh adalah 814 km dari Kota Pontianak. Apabila menggunakan transportasi sungai jarak tempuhnya lebih jauh lagi sekitar 846 km dan akan melalui sungai Kapuas yang terkenal akan hutan yang eksotis dan yang pasti waktu tempuhnyapun akan lebih lama lagi karena kelokan sungai Kapuas yang cukup menegangkan bila dilalui dengan perahu atau speedboat walaupun diakui memang indah bila dilihat dari udara.

Pukul 06.00 kami sudah berada di Bandara Supadio Pontianak, menunggu boarding pesawat Kalstar yang akan menerbangkan kami sekitar 60 menit menuju Bandara Pangsuma Putussibau, kami bersyukur karena saat ini penerbangan menuju Putussibau dapat menggunakan pesawat jenis ATR 42-600 sama seperti yang digunakan maskapai Garuda dengan rute penerbangan yang sama (saat ini hanya ada 2 penerbangan dari Pontianak ke Putussibau dan keduanya hanya di pagi hari begitupun sebaliknya).

Sebagai informasi mengenai pesawat yang digunakan adalah pesawat jenis ATR seri 600, berdasarkan catatan pesawat ini mempunyai teknologi yang baru dengan mesin PW-127 M yang bisa mendarat mulus pada landasan pendek dan buatan pabrik Tahun 2010, jadi kami masih bisa tidak terlalu khawatir akan perjalanan ini, maklum siapa yang tidak kenal hutan Kalimantan “Borneo Forest” hutan yang masih lebat, asri dan konon merupakan paru-paru dunia.
Saat lepas landas terasa nyaman, walaupun baling-baling pesawat berada didekat jendela tempat saya mendapatkan nomor kursi pesawat, keindahan alam Kalimantan mulai terasa wilayah Kabupaten Kubu Raya terasa indah dilihat dari udara, daerah lumbung beras untuk kota Pontianak terlihat hijau, terasa bagaikan dipulau Jawa, namun berbeda dengan adanya keindahan kelok sungai Kapuas.

Sepanjang perjalanan penulis mengagumi keindahan alam ciptaan Yang Maha Kuasa yang diletakkan di pulau Kalimantan, udara yang cerah membuat penulis dapat melihat bukit dan Gunung yang masih asri yang dikelilingi oleh awan putih yang menambah ketakjupan terhadap ciptaan Illahi, memang menakjubkan alam Kalimantan.. itulah kenapa banyak orang mengatakan “Amazing Borneo”.

Tak terasa waktu 60 menit terasa sebentar untuk mengagumi keindahan alam Kalimantan Barat dari udara, tampak kota Putussibau yang cukup ramai terlihat keindahannya dari udara, dan benar pesawat ATR 600 dapat mulus mendarat di Bandara Pangsuma Putussibau, kondisi bangunan bandara cukup baik walau tidak seperti yang ada di pulau Jawa, namun hampir sama dengan bandara Ketapang yang pernah penulis singgahi.

Saat berkendara dari bandara Pangsuma menuju kota Putussibau yang jaraknya sekitar 4 km, terasa angin semilir yang masih asri memberikan kesejukan bagi pengalaman perjalanan ini, sepanjang perjalanan sudah mulai ramai dengan rumah penduduk yang kebanyakan merupakan rumah dengan pondasi panggung, ciri khas rumah di Kalimantan.

Kota Putussibau dengan semboyan “Bumi Uncak Kapuas” memang tidak terlalu besar dibandingkan kota Pontianak apalagi dengan kota di pulau Jawa, dengan luas sekitar 29.842 km2 dan jumlah penduduk sekitar 200 ribu jiwa, namun kota ini tampak bersih dan teratur dengan kondisi lalu lintas yang jelas jauh lebih tertib dibandingkan kota Pontianak.

Saat akan memasuki lobby Hotel Sanjaya di pusat kota Putussibau terasa udara segar dan sehat hembusan angin Bumi Uncak Kapuas. Untuk penginapan saat ini Hotel Sanjaya yang berada di jalan Kom. Yos Sudarso merupakan hotel atau penginapan yang terbaik yang ada di kota Putussibau dan juga kebetulan letaknya ditengah kota berdampingan dengan Agen Bus Damri, walaupun kami melihat ada beberapa hotel berada di sekitar pusat kota.
Kondisi kota yang tidak terlalu ramai, telah membuat penulis berkesempatan mengelilingi kota Putussibau dengan berjalan kaki disekitar hotel, terlihat beberapa bangunan yang cukup bagus yang dapat penulis ambil gambarnya adalah, kantor Bupati Kapuas Hulu yang gedungnya bersatu dengan gedung Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Kapuas Hulu yang akan kami kunjungi, disekitarnya ada gedung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang cukup unik dan mempunyai bentuk khas Kalimantan, Gelanggang Olahraga Gelora Uncak Kapuas, Gedung DPRD dan Gedung Bank BRI yang disebelahnya Gedung Bank Kalbar Cabang Kapuas Hulu.

Setelah istirahat sejenak, kami melakukan tugas pokok perjalanan kali ini yaitu penggalian potensi lelang di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Kabupaten Kapuas Hulu, semula kami bermaksud berkunjung ke DPPKAD saja, namun tak menyangka kami diterima oleh Kepala DPPKAD Bapak Drs. Mohd. Zaini, MM. disaat beliau mengadakan rapat dengan satuan kerja Kabupaten Kapuas Hulu, maka jadilah kami berdua melakukan sosialisasi dadakan terkait peran Tupoksi DJKN termasuk peranan penjualan lelang sebagai PNBP dan Pendapatan Daerah, dengan menjelaskan tentang tata cara pelaksanaan lelang terbuka maupun penjualan lelang melalui internet dan email.

Dalam pertemuan tersebut, kami mendapatkan kesan antusias peserta rapat yang semula merupakan rapat instansi Kabupaten Kapuas Hulu berubah menjadi sosialisasi mengenai Tupoksi DJKN khususnya terkait pelaksanaan lelang. Pada presentasi dadakan ini  yang membuat kami kagum adalah keramahan dari peserta rapat, sehingga pertemun berjalan dengan baik layaknya bukan seperti orang yang baru dikenal, inilah salah satu peristiwa yang membekas dalam perjalanan pertama kami di Kabupaten Kapuas Hulu.   

There is no word ‘useless’ in an effort. Be confident of your every effort is part of your experience





Wied-Sand

Des-2014

Selasa, 02 Desember 2014

MASJID RAYA SINGKAWANG

MASJID RAYA SINGKAWANG

Sudah kesekian kalinya penulis mengunjungi Kota Singkawang, namun Jum’at 28 November 2014 pagi ini terasa berbeda disaat cuaca sejuk dipagi hari menyempatkan diri untuk Sholat Shubuh di Masjid Raya Singkawang, pelaksanaannya untuk hari Jum’at pagi ini dilantunkan ayat sajadah, terasa nikmat disaat melaksanakan sujud tilawah tak terasa mata ini mengeluarkan titik airmata merasakan betapa besar kuasa sang Maha Pencipta, “Maha Suci Allah sebaik-baik Pencipta”.

Masjid Raya Singkawang nama Masjid tempat penulis melakukan sholat, tempatnya memang strategis ditengah keramaian kota Singkawang, Masjid yang mempunyai cerita yang cukup panjang didirikan awalnya pada tahun 1880, dibangun oleh Bawasahib Maricar dan keluarganya adalah merupakan pendatang dan pedagang dari Calcutta India, yang kemudian diangkat Pemerintah Belanda sebagai Kapitan di Singkawang pada tahun 1875.
Kapitan Bawasahib Maricar membangun Masjid Raya di kawasan Pasar Baru Singkawang kala itu. Saat dibangunnya Masjid tempat ibadah umat Islam di Singkawang saat itu masih sederhana, masih berukuran kecil dan tidak mempunyai menara. Kapitan Bawasahib Maricar membangun Masjid Raya di tanah miliknya yang berbentuk segitiga berdekatan dengan “Kelenteng Pekong atau Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang dibangun oleh seorang Kapitan dari etnis Tionghoa.

Namun sekitar tahun 1937, terjadi kebakaran hebat di pusat kota Singkawang kala itu, kebakaran itu telah membumihanguskan bangunan-bangunan, termasuk Masjid Raya dan Vihara. Namun tak lama berselang sekitar tahun 1940 Masjid Raya dibangun kembali  kembali dengan lokasi di tempat semula sebelum masjid tersebut terbakar oleh 3 orang bersaudara keluarga dari Bawasahib Maricar yaitu Haji B. Achmad Maricar, B. Mohammad Haniffa Maricar dan B. Chalid Maricar.

Kondisi Masjid diperluas arealnya dengan sumbangan lahan tanah milik keluarga Kapitan Bawasahib Maricar, dan baru pada tahun 1953 mulai dibangun menara yang terletak disamping kiri Masjid Raya, kendati semakin luas namun bentuk areal Masjid tersebut masih berbentuk segitiga, inilah salah satu keunikan dari Masjid Raya Singkawang berdiri dengan bentuk segitiga yang dikelilingi oleh jalan raya.


Sehingga tidaklah mengherankan bila setiap pendatang atau pelancong yang mengunjungi kota Singkawang tidaklah “afdol” bila tidak singgah atau menikmati panorama Masjid Raya Singkawang yang berdekatan dengan Kelenteng atau Vihara Tri Dharma Bumi Raya, kedua bangunan ini merupakan ciri khas tersendiri masyarakat Singkawang yang terkenal dengan sebutan “kota seribu klenteng”, perbedaan agama dan keyakinan tetapi tetap saling menghormati, bahkan saat dilaksanakannya upacara kegiatan di Vihara tersebut terutama saat Imlek dan Cap Go Meh maupun saat Iedul Fitri dan Iedul Adha, keduanya saling menghormati.
 
Sekilas tentang keberadaan Vihara Tri Dharma Bumi Raya di kota Singkawang, sebagai Vihara yang dianggap tertua konon dibangun lebih dari 200 tahun yang lalu dan dipercaya sebagai tempat berdiamnya Dewa Bumi Raya yang menjaga Kota Singkawang, bangunannya tidak terlalu besar namun tampak menimbulkan kesan sakral didalamnya, Vihara ini akan sangat ramai dikunjungi oleh pelancong terutama etnis tionghoa dari berbagai penjuru tempat bahkan dari luar Indonesia saat perayaan IMLEK atau waktu Cap Go Meh (hari ke lima belas dari Tahun Baru Imlek) diselenggarakan.

Kemeriahan masyarakat merayakannya dengan berbagai atraksi pada saat perayaan Cap Go Meh diperlihatkan oleh atraksi peserta yang berasal dari berbagai Vihara didalam dan diluar kota Singkawang yang menganggap Vihara Tri Dharma Bumi Raya sebagi Vihara utama mereka. Adapun atraksi yang terkenal saat perayaan Cap Go Meh adalah Tatung yang dalam bahasa Hakka Cina adalah orang yang dirasuki roh dewa atau leluhur. Tatung merupakan media utama Cap Go Meh yang dipenuhi dengan mistik dan menegangkan, karena banyak orang yang menjadi Tatung kesurupan. Upacara pemanggilan roh Tatung dipimpin oleh pendeta Vihara yang sengaja mendatangkan roh orang yang sudah meninggal untuk merasuki Tatung yang dipanggil dan diyakini sebagai roh baik yang mampu menangkal roh jahat yang hendak mengganggu keharmonisan hidup masyarakat dan juga atraksi ini bertujuan untuk mengusir ketidak beruntungan di tahun ini.

Kemeriahan tersebut berlangsung tanpa mengganggu kondisi masyarakat yang berbeda keyakinan, bahkan Masjid Raya Singkawang yang jaraknya hanya beberapa puluh meter dari pusat kegiatan Cap Go Meh di Vihara Tri Dharma Bumi Raya tidaklah terganggu kegiatannya, saat adzan Sholat berkumandang  kegiatan atraksi Tatung tersebut berakhir. Itulah kebersamaan antar etnis, antar agama yang diciptakan oleh masyarakat Kota Singkawang.

Masjid Raya Singkawang merupakan salah satu “icon” dan kebanggaan kota Singkawang, untuk mengembangkan kegiatan ibadahnya Masjid Raya Singkawang juga mendirikan TPA atau Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an letaknya di area belakang masjid sebelah kanan. Keberadaannya sudah tentu sangat membantu pengembangan wawasan anak-anak yang beragama Islam.
Kondisi TPA Masjid Raya Singkawang memang sederhana, namun ada beberapa hal yang patut penulis catat terkait proses kegiatan disana, adanya keikhlasan dari para Guru/Pengajar dengan memperoleh tunjangan atau honor yang dibawah UMR, mereka masih memberikan pengajaran dengan baik, kegiatan berjalan dari swakelola uang bulanan siswa dan kadangkala bantuan jamaah masjid dan masyarakat.


Masjid Raya Singkawang, selain tempat melaksanakan ibadah sholat, menurut penulis layak untuk disinggahi bila berkunjung ke Kota Singkawang, bangunan masjid dengan arsitektur yang khas, dibagian dalam terdapat tiang penyangga dari kayu ulin yang terkenal kuat dan kondisi Masjid yang bersih serta tertata memberikan kesan nyaman, dengan dilatari oleh bangunan kota Singkawang dan panorama Gunung Poteng yang dikenal juga sebagai "Gunung Jempol" karena puncaknya menyerupai jari jempol manusia, panorama diwaktu malam tak kalah indahnya Masjid Raya Singkawang penuh pesona... tempat untuk mengabadikan kenangan..... 




Wi-Nanda

*dari berbagai sumber